Senin, 01 Oktober 2012

PENGERTIAN BANK SYARI’AH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1        PENGERTIAN BANK SYARI’AH DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Pengertian Bank Syariah menurut Ensiklopedia bebas adalah (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) Yaitu suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).  Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.[1]
Untuk pertama kalinya, pembentukan bank syari’ah didirikan di mesir pada tahun 1963 dengan nama Bank Syari’ah Myt-Ghamr, yang permodalannya dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Pendirian Bank Syari’ah Myt-Ghamr dipelopori oleh Ikhwanul Muslim, tetapi tidak berlangsung lama karena segera dibubarkan oleh Gamal Abdul Nashr. namun demikian, eksperimen pendirian Bank  Bank Syari’ah Myt-Ghamr (1963-1967) ini telah mampu merangsang pemikiran tentang kemungkinan didirikannya lembaga islam yang bergerak dibidang keuangan dan investasi dengan keuntungan yang layak.
Masih dimesir dengan dipeloporimoleh seorang hartawan yang bernama Thalut Harb Pasha, pada tahun 1970 para hartawan mendirikan Bank syari’ah dengan nama Bank Mesir. Bank ini mulai beroperasi pada tahun 1972 yang pada dasarnya merupakan lembaga swasta yang memiliki otonomi tersendiri. Kegiatannya terutama dalam bidang sosial, membantu usaha pengusaha kecil dan menolong kaum Dhu’afa .

Selanjutnya bermunculan bank-bank syari’ah diberbagai negara islam. Peristiwa ini diawali oleh pertemuan ketiga dari menteri-menteri luar negeri Negara-negara islam di Jeddah pada tanggal 29 Februari 1972. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan pembentukan Departemen Keuangan dan Ekonomi di bawah Sekretaris Jenderal yang ditugasi untuk menjelaskan sistem perbankan Islam dan mengumpulkan pendapat dari Negara-negara islam. Hasil dari kajian departemen ini dibicarakan pada pertemuan pertama Menteri-menteri keuangan Organisasi Konferensi Islam pada bulan desember1973. Dalam pertemuan ini dihasilkan pernyataan kehendak untuk mendirikan sebuah Bank Syari’ah. Perkembangan bank Syari’ah yang pesat ternyata tidak terlepas dari andil yang diperankan oleh Organisai Konferensi Islam (OKI) yang sejak tahun 1970-an banyak mengeluarkan anjuran dan mendorong Negara-negara anggotanya untuk meningkatkan prekonomian rakyat di Negara masing-masing. Sampai pada akhirnya Islamic Development Bank (IDB) bulan juli 1985 yang berkantor di jeddah.[2]
Perbankan syari’ah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang didalam usahanya didasarkan  pada prinsip-prinsip hokum atau syari’ah islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-hadits. Maksud dari system yang sesuai dengan syari’ah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan –ketentuan syari’at islam, khususnya yang menyangkut tata-cara bermuamalat misaalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan. Sedangkan kegiatan usaha dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Al-hadits yang dimaksudkan beroperasi mengikuti larangan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul Muhammad SAW. Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan praktik-paraktik bank uang mengandung dan menimbulkan unsur riba. Pada awalnya penerapan system perbankan syari’ah, pembentukan lembaga keuangan syari’ah , serta penciptaan produk-produk syari’ah dalam system keuangan untuk menciptakan sesuatu kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek kehidupannya termasuk aspek ekonominya dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Saat ini, system perekonomian islam mengalaminperkembangan yang cukup pesat dan menjadi objek kajian dan penelitian kalangan barat. Sistem syari’ah dewasa ini telah terintegrasi dan berinteraksi dengan system perekonomian dunia. Sistem perbankan syari’ah tidak lagi hanya dimonopoli dan diklaim sebagai sistem perbankan Negara-negara islam.[3]



BAB 2
PEMBAHASAN
2.1        PERKEMBANGAN BANK SYARI’AH DI INDONESIA
Sejarah dari Bank Syariah di Indonesia itu sendiri karena masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, namun belum ada Bank yang tercermin pada bank-bank Timur Tengah, bank di Indonesia mayoritas Merupakan bank cerminan barat (Amerika dan Eropa), yang lebih dikenal bank konvensional, dan sebenarnya kajian tentang perbankan syariah sudah muncul sejak tahun 1980-an namun realisasinya berdiri tahun 1991, oleh Bank Muamalat Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini awalnya Memiliki landasan hukum yang lemah UU No.7 Tahun 1992 belum dijelaskan tentang bank syariah, namun setelah terjadi revisi muncul UU No 10 Tahun 1998 dan dengan revisi UU tersebut maka status bank syariah semakin kuat Bank Muamalat Indonesia juga sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 1990-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang yaitu UU No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1997 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank di antaranya merupakan bank besar seperti Bank Negeri Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). System syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka perkembangan industry perbankan syariah nasional semakin Memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan asset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian akan semakin signifikan.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang-Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.[4]
Pengembangan perbankan syari’ah diindonesia dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif pelayanan kepada masyarakat baik dalam bentuk penyimpanan dana, atau jenis-jasa, lainnya maupun berupa pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syari’ah. Adanya produk syari’ah tersebut memberikan tempat bagi amsyarakat yang belum bisa menerima system bank konvensional disebabkan oleh karena hambatan keyakinan yang dinutnya.
Dalam upaya pengembangan bank syari’ah dijumpai berbagai kendala antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
a.             Masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis operasi dan produk-produk yang ditawarkan oleh bank-bank syari’ah.
b.            Jumlah dan jaringan kantor bank syari’ah yang masih terbatas sehingga menyulitkan masyarakat mengakses pelayanan bank syari’ah.
c.             Kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki pemahaman dan pengalaman teknik perbankan syari’ah.
Kendala tersebut terjadi karena perbankan syari’ah merupakan lembaga baru di Indonesia. keberadaan bank syari’ah dapat dapat dikatakan baru benar-benar muncul pada dekade 1990-an yang diawali dengan disyahkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Oleh karena itu UU ini dapat dikatakan sebagai embrio penerapan bank syari’ah di Indonesia, meskipun sebenarnya UU ini tidak mengatur secara eksplisit mengenai perbankan syari’ah.


2.2       SISTEM PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA     
            Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang berbah cepat, tantangan yang dinamis semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian internasional. Diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan dibidang perbankan. Kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh  ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut diantaranya berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank syari’ah. Artinya, bank Indonesia antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor kemampuan bank syari’ah, prinsip kehati-hatian operasional, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja, serta kemampuan dan atau kelayakan pemilik, pengurus dan pejabat. Dalam pendirian bank syari’ah diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan pemilik bank yang layak serta kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank Syari’ah mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini sejalan dengan perkembangan globalisasi system keuangan dan pembukaan akses pasar serta perlskusn non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak asing diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan kepengurusan bank syari’ah dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan pihak nasional. Selain permodalan yang kuat, bank perlu didukung pula oleh pengurus, Dewan pengawas Syari’a, dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk menglola bank secara sehat. Persyaratan kepengurusan  dan dewan pengawas syari’ah yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, perngkapan jabatan, dan independensi dari pengurus dan Dewan Pengurus Syari’ah diatur dengan cara seleksi administrative dan wawancara sebagai salah satu pilar dalm menciptakan good corporate governance. [5]



2.3              BENTUK HUKUM, PERMODALAN DAN KEPEMILIKAN

Berdasarkan UU Perbankan, bentuk hukum Bank Syariah dapat berupa:
a.       Perseroan terbatas
b.      Koperasi
c.       Perusahaan daerah.
Modal disetor untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Tiga triliun rupiah. Pendirian Bank Syari’ah hanya dapat dilakukan oleh:
a.       Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia ; atau
b.      Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga Negara asing secara kemitraan.
Sedangkan kepemilikan yang berasal  dari warga Negara asing dan atau badan hukum asing setinggi-tingginya sebesar 99% dari modal disetor bank.
Sementara kepemilkan Bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modal bersih sendiri dari badan hukum yang bersangkutan. Dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang bersumber dari:
a.       Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapu dari bank dan/atau pihak lain, dan atau
b.      Sumber yang diharamkan menurut prinsip syari’ah, termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering).
Selanjunya, berdasarkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang dapat menjadi pemilik bank adlah pihak-pihak yang:
a.       Tidak termasuk dalm daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang  saham dan atau pengurus bank, sesuai ddengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b.      Menurut penilaian Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki integritas yang baik yaitu antara lain adalah:
Ø  Memiliki akhlak moral yang baik,
Ø  Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Ø  Memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat.
c.       Pemegang saham pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedi untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalm menjalankan usahanya.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, bank yang telah mendapat izin beroperasi sebagai bank syari’ah  dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional dan dilarang mengubah kegiatan usaha menjadi bank konvensional.[6]

2.4              KEGIATAN USAHA BANK SYARI’AH

Bank syari’ah yang terdiri dari BUS, UUS, serta BPRS, pada dasrnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana masyarakat di samping penyediaan jasa jasa keuangan lainnya.
Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah adalah:
a.                   ,Penghimpun dana
-           modal inti,
-          simpanan dan investasi
b.                  Penyaluran dana
-          Pembiayaan berdasarkan pola jual beli dengan akad murabahah, salam atau istishna’
-          Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau Musyarakah
-          Pembiayaan berdasarkan akad qardh
-          Pembiayaan penyewa barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan  akad Ijarah atau sewa beli dalam bentuk Ijarah Muntahiya Bittamlik.
-          Pengambilan utang berdasarkan akad Hawalah
-          Pembiayaan multijasa
c.                   Jasa keuangan perbankan
-          Letter of credit (L/C) Impor syari’ah
-          Bank garansi syari’ah
-          Penukaran valuta asing

2.5              PRINSIP DASAR AKUNTANSI BANK SYARI’AH

Sesuai dengan karakteristiknya, maka laporan akuntansi bank islam meliputi:
a.       Laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syari’ah sebagai investor beserta hak dan kewajibannya yang dilaporkan kedalam bentuk, antara lain:
Ø  Laporan posisi keuangan/neraca
Ø  Laporan laba-rugi
Ø  Laporan arus kas
Ø  Laporan perubahan modal (ekuitas)
b.      Laporan keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola bank syari’ah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atau agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat.
c.       Laporan keuangan yang mencerminkan peran bank syari’ah sebagai pemegang amanah dan kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah dan dilaporkan kedalam bentuk:
Ø  Laporan sumber dan penggunaan zakat
Ø  Laporan sumber dan penggunaan dana qardh/qardul hasan
Beberapa hal yang menonjol dalam akuntansi bank Islam adalah:
·         Giro dan tabungan wadiah dicatat/disajikan sebagai utang dalam neraca
·         Rekening investasi mudharabah bebas/deposito dicatat/disajikan sebagai rekening tersendiri antar utang dan modal (bukan utang)
·         Rekening investasi tidak bebas dicatat terpisah sebagai off balance sheet account dalm bentuk laporan perubahan posisi investasitidak bebas.
·         Piutang murabahah dicatat sebesar sisa haraga jual yang belum tertagih dikurangi dengan margin yang belum diterima.
·         Investasi mudharabah dan musyarakah disajikan sebesar sisa nilai modal yang disertakan atau diinvestasikan.
·         Asset yang disewakan dicatat sebesar harga  perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan .
·         Pendapatan pada umumnya diakui secara cash basis sedangkan beban tetap secara  accrual basis.
·         Bagi hasil antara mudharib dan shibul mal dilakukan  atas profit loss sharing atau revenue sharing, sedangkan pendapatan yang berasal dari investasi dana yang bukan berasal dari rekening investasi sepenuhnya menjadi pendapatan bank, disamping itu pendapatan jasa bank sepenuhnya menjadi pendapatan bank yang tidak dibagi hasilkan.[7]


BAB 3
PENUTUP

3.1       Kesimpulan








3.2       Saran



DAFTAR PUSTAKA

v  Djazuli, H.A, dkk, Lembaga-Lembaga Perekonomian umat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002).
v  Slamat, Dahlan, Manajemen lembaga keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005).
v Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010).



[2] H.A. Djazuli, Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian umat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm.61-63
[3] Dahlan Slamat, Manajemen lembaga keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 407-408
[5] Dahlan Slamat, Manajemen lembaga keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005),  hlm. 409-413
[6] Dahlan Slamat, Manajemen lembaga keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 414-415
[7]Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010), Hlm. 72-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar