BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
PENGERTIAN BANK SYARI’AH DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
Pengertian
Bank Syariah menurut Ensiklopedia bebas adalah (Arab: المصرفية الإسلامية
al-Mashrafiyah al-Islamiyah) Yaitu suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan
adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman
dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada
usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak
dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam
usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media
atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.[1]
Untuk
pertama kalinya, pembentukan bank syari’ah didirikan di mesir pada tahun 1963
dengan nama Bank Syari’ah Myt-Ghamr, yang permodalannya dibantu oleh Raja
Faisal dari Arab Saudi. Pendirian Bank Syari’ah Myt-Ghamr dipelopori oleh
Ikhwanul Muslim, tetapi tidak berlangsung lama karena segera dibubarkan oleh
Gamal Abdul Nashr. namun demikian, eksperimen pendirian Bank Bank Syari’ah Myt-Ghamr (1963-1967) ini telah
mampu merangsang pemikiran tentang kemungkinan didirikannya lembaga islam yang
bergerak dibidang keuangan dan investasi dengan keuntungan yang layak.
Masih
dimesir dengan dipeloporimoleh seorang hartawan yang bernama Thalut Harb Pasha,
pada tahun 1970 para hartawan mendirikan Bank syari’ah dengan nama Bank Mesir.
Bank ini mulai beroperasi pada tahun 1972 yang pada dasarnya merupakan lembaga
swasta yang memiliki otonomi tersendiri. Kegiatannya terutama dalam bidang
sosial, membantu usaha pengusaha kecil dan menolong kaum Dhu’afa .
Selanjutnya
bermunculan bank-bank syari’ah diberbagai negara islam. Peristiwa ini diawali
oleh pertemuan ketiga dari menteri-menteri luar negeri Negara-negara islam di
Jeddah pada tanggal 29 Februari 1972. Dalam pertemuan tersebut dicapai
kesepakatan pembentukan Departemen Keuangan dan Ekonomi di bawah Sekretaris
Jenderal yang ditugasi untuk menjelaskan sistem perbankan Islam dan
mengumpulkan pendapat dari Negara-negara islam. Hasil dari kajian departemen
ini dibicarakan pada pertemuan pertama Menteri-menteri keuangan Organisasi
Konferensi Islam pada bulan desember1973. Dalam pertemuan ini dihasilkan pernyataan
kehendak untuk mendirikan sebuah Bank Syari’ah. Perkembangan bank Syari’ah yang
pesat ternyata tidak terlepas dari andil yang diperankan oleh Organisai
Konferensi Islam (OKI) yang sejak tahun 1970-an banyak mengeluarkan anjuran dan
mendorong Negara-negara anggotanya untuk meningkatkan prekonomian rakyat di
Negara masing-masing. Sampai pada akhirnya Islamic Development Bank (IDB) bulan
juli 1985 yang berkantor di jeddah.[2]
Perbankan
syari’ah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang didalam usahanya
didasarkan pada prinsip-prinsip hokum
atau syari’ah islam dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan Al-hadits. Maksud dari
system yang sesuai dengan syari’ah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan
–ketentuan syari’at islam, khususnya yang menyangkut tata-cara bermuamalat misaalnya
dengan menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan
kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan. Sedangkan kegiatan usaha
dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Al-hadits yang dimaksudkan beroperasi mengikuti
larangan dan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul Muhammad
SAW. Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan dengan
praktik-paraktik bank uang mengandung dan menimbulkan unsur riba. Pada awalnya
penerapan system perbankan syari’ah, pembentukan lembaga keuangan syari’ah ,
serta penciptaan produk-produk syari’ah dalam system keuangan untuk menciptakan
sesuatu kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek kehidupannya
termasuk aspek ekonominya dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunnah. Saat
ini, system perekonomian islam mengalaminperkembangan yang cukup pesat dan
menjadi objek kajian dan penelitian kalangan barat. Sistem syari’ah dewasa ini
telah terintegrasi dan berinteraksi dengan system perekonomian dunia. Sistem
perbankan syari’ah tidak lagi hanya dimonopoli dan diklaim sebagai sistem
perbankan Negara-negara islam.[3]
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
PERKEMBANGAN BANK SYARI’AH DI INDONESIA
Sejarah dari Bank Syariah di Indonesia itu
sendiri karena masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, namun belum ada Bank
yang tercermin pada bank-bank Timur Tengah, bank di Indonesia mayoritas
Merupakan bank cerminan barat (Amerika dan Eropa), yang lebih dikenal bank
konvensional, dan sebenarnya kajian tentang perbankan syariah sudah muncul
sejak tahun 1980-an namun realisasinya berdiri tahun 1991, oleh Bank Muamalat
Indonesia. Bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan
beberapa pengusaha muslim. Bank ini awalnya Memiliki landasan hukum yang lemah
UU No.7 Tahun 1992 belum dijelaskan tentang bank syariah, namun setelah terjadi
revisi muncul UU No 10 Tahun 1998 dan dengan revisi UU tersebut maka status
bank syariah semakin kuat Bank Muamalat Indonesia juga sempat terimbas oleh
krisis moneter pada akhir tahun 1990-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank
ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini
keberadaan bank syariah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang yaitu UU
No 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1997 tentang Perbankan.
Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank
syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan
Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha
syariah adalah 19 bank di antaranya merupakan bank besar seperti Bank Negeri
Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). System syariah juga
telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR
Syariah.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka
perkembangan industry perbankan syariah nasional semakin Memiliki landasan
hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan asset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka
diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian akan
semakin signifikan.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia
telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat
sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya
telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank
konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan
bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system
bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis
dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis
keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga
keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan,
kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga,
peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank
Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan
kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari
pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu
memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan
momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan
kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu
langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah
yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional
untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank
konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan
inisiatif dari perubahan Undang-Undang perbankan no. 10 tahun 1998.
Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas
landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan
diimplementasikan oleh bank syariah.[4]
Pengembangan perbankan syari’ah diindonesia
dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif pelayanan kepada
masyarakat baik dalam bentuk penyimpanan dana, atau jenis-jasa, lainnya maupun
berupa pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syari’ah. Adanya produk
syari’ah tersebut memberikan tempat bagi amsyarakat yang belum bisa menerima
system bank konvensional disebabkan oleh karena hambatan keyakinan yang
dinutnya.
Dalam upaya pengembangan bank syari’ah dijumpai
berbagai kendala antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
a.
Masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis operasi dan
produk-produk yang ditawarkan oleh bank-bank syari’ah.
b.
Jumlah dan jaringan kantor bank syari’ah yang masih terbatas sehingga
menyulitkan masyarakat mengakses pelayanan bank syari’ah.
c.
Kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki pemahaman dan
pengalaman teknik perbankan syari’ah.
Kendala tersebut terjadi karena perbankan
syari’ah merupakan lembaga baru di Indonesia. keberadaan bank syari’ah dapat
dapat dikatakan baru benar-benar muncul pada dekade 1990-an yang diawali dengan
disyahkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Oleh karena itu
UU ini dapat dikatakan sebagai embrio penerapan bank syari’ah di Indonesia, meskipun
sebenarnya UU ini tidak mengatur secara eksplisit mengenai perbankan syari’ah.
2.2 SISTEM PERBANKAN
SYARI’AH DI INDONESIA
Dalam
rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang berbah cepat,
tantangan yang dinamis semakin kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian
internasional. Diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan dibidang perbankan.
Kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan
yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut
diantaranya berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan,
kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank syari’ah.
Artinya, bank Indonesia antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor
kemampuan bank syari’ah, prinsip kehati-hatian operasional, tingkat persaingan
yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syari’ah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional,
kelayakan rencana kerja, serta kemampuan dan atau kelayakan pemilik, pengurus
dan pejabat. Dalam pendirian bank syari’ah diperlukan dukungan permodalan yang
kuat dan pemilik bank yang layak serta kondisi keuangan yang sehat sehingga
Bank Syari’ah mampu bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini
sejalan dengan perkembangan globalisasi system keuangan dan pembukaan akses
pasar serta perlskusn non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak
asing diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan
kepengurusan bank syari’ah dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan
pihak nasional. Selain permodalan yang kuat, bank perlu didukung pula oleh
pengurus, Dewan pengawas Syari’a, dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk
menglola bank secara sehat. Persyaratan kepengurusan dan dewan pengawas syari’ah yang berkaitan
dengan kualitas, kuantitas, perngkapan jabatan, dan independensi dari pengurus
dan Dewan Pengurus Syari’ah diatur dengan cara seleksi administrative dan wawancara
sebagai salah satu pilar dalm menciptakan good
corporate governance. [5]
2.3
BENTUK HUKUM, PERMODALAN DAN KEPEMILIKAN
Berdasarkan UU
Perbankan, bentuk hukum Bank Syariah dapat berupa:
a. Perseroan
terbatas
b. Koperasi
c. Perusahaan
daerah.
Modal disetor
untuk mendirikan Bank Syari’ah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Tiga
triliun rupiah. Pendirian Bank Syari’ah hanya dapat dilakukan oleh:
a. Warga
Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia ; atau
b. Warga
Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga Negara asing
secara kemitraan.
Sedangkan kepemilikan
yang berasal dari warga Negara asing dan
atau badan hukum asing setinggi-tingginya sebesar 99% dari modal disetor bank.
Sementara
kepemilkan Bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar
modal bersih sendiri dari badan hukum yang bersangkutan. Dana yang digunakan
dalam rangka kepemilikan Bank dilarang bersumber dari:
a. Pinjaman
atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapu dari bank dan/atau pihak lain, dan
atau
b. Sumber
yang diharamkan menurut prinsip syari’ah, termasuk dari dan untuk tujuan
pencucian uang (money laundering).
Selanjunya,
berdasarkan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang dapat menjadi pemilik
bank adlah pihak-pihak yang:
a. Tidak
termasuk dalm daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank, sesuai ddengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b. Menurut
penilaian Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki integritas yang baik yaitu
antara lain adalah:
Ø Memiliki
akhlak moral yang baik,
Ø Mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Ø Memiliki
komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank yang sehat.
c. Pemegang
saham pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedi
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalm
menjalankan usahanya.
Berdasarkan
ketentuan Bank Indonesia, bank yang telah mendapat izin beroperasi sebagai bank
syari’ah dilarang melakukan kegiatan
usaha perbankan secara konvensional dan dilarang mengubah kegiatan usaha
menjadi bank konvensional.[6]
2.4
KEGIATAN USAHA BANK SYARI’AH
Bank syari’ah
yang terdiri dari BUS, UUS, serta BPRS, pada dasrnya melakukan kegiatan usaha
yang sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dana dan
penyaluran dana masyarakat di samping penyediaan jasa jasa keuangan lainnya.
Adapun kegiatan
usaha Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah adalah:
a.
,Penghimpun dana
-
modal inti,
-
simpanan
dan investasi
b.
Penyaluran dana
-
Pembiayaan
berdasarkan pola jual beli dengan akad murabahah, salam atau istishna’
-
Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau Musyarakah
-
Pembiayaan
berdasarkan akad qardh
-
Pembiayaan
penyewa barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad Ijarah atau sewa beli dalam bentuk
Ijarah Muntahiya Bittamlik.
-
Pengambilan
utang berdasarkan akad Hawalah
-
Pembiayaan
multijasa
c.
Jasa keuangan perbankan
-
Letter
of credit (L/C) Impor syari’ah
-
Bank
garansi syari’ah
-
Penukaran
valuta asing
2.5
PRINSIP DASAR AKUNTANSI BANK SYARI’AH
Sesuai dengan
karakteristiknya, maka laporan akuntansi bank islam meliputi:
a. Laporan
keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syari’ah sebagai investor beserta hak
dan kewajibannya yang dilaporkan kedalam bentuk, antara lain:
Ø Laporan
posisi keuangan/neraca
Ø Laporan
laba-rugi
Ø Laporan
arus kas
Ø Laporan
perubahan modal (ekuitas)
b. Laporan
keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola bank
syari’ah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atau
agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat.
c. Laporan
keuangan yang mencerminkan peran bank syari’ah sebagai pemegang amanah dan
kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah dan dilaporkan kedalam bentuk:
Ø Laporan
sumber dan penggunaan zakat
Ø Laporan
sumber dan penggunaan dana qardh/qardul hasan
Beberapa hal yang menonjol dalam
akuntansi bank Islam adalah:
·
Giro dan tabungan wadiah
dicatat/disajikan sebagai utang dalam neraca
·
Rekening investasi mudharabah
bebas/deposito dicatat/disajikan sebagai rekening tersendiri antar utang dan
modal (bukan utang)
·
Rekening investasi tidak bebas dicatat
terpisah sebagai off balance sheet
account dalm bentuk laporan perubahan posisi investasitidak bebas.
·
Piutang murabahah dicatat sebesar sisa
haraga jual yang belum tertagih dikurangi dengan margin yang belum diterima.
·
Investasi mudharabah dan musyarakah
disajikan sebesar sisa nilai modal yang disertakan atau diinvestasikan.
·
Asset yang disewakan dicatat sebesar
harga perolehan dikurangi dengan
akumulasi penyusutan .
·
Pendapatan pada umumnya diakui secara cash basis sedangkan beban tetap
secara accrual basis.
·
Bagi hasil antara mudharib dan shibul mal dilakukan atas profit
loss sharing atau revenue sharing, sedangkan
pendapatan yang berasal dari investasi dana yang bukan berasal dari rekening
investasi sepenuhnya menjadi pendapatan bank, disamping itu pendapatan jasa
bank sepenuhnya menjadi pendapatan bank yang tidak dibagi hasilkan.[7]
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
v Djazuli, H.A, dkk, Lembaga-Lembaga Perekonomian umat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002).
v Slamat, Dahlan, Manajemen
lembaga keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005).
v Soemitra, Andri, Bank
dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010).
v http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/16/perkembangan-perbankan-syariah-di-indones/
(17 September 2012, pkl 23.20 wib)
[1]
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/16/perkembangan-perbankan-syariah-di-indones/
(17 September 2012, pkl 23.20 wib)
[2]
H.A. Djazuli, Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga
Perekonomian umat (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm.61-63
[3]
Dahlan Slamat, Manajemen lembaga
keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 407-408
[4]
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/05/16/perkembangan-perbankan-syariah-di-indones/
(17 September 2012, pkl 23.20 wib)
[5]
Dahlan Slamat, Manajemen lembaga
keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 409-413
[6]
Dahlan Slamat, Manajemen lembaga
keuangan, kebijakan moneter dan perbankan, (Jakarta: Lembaga penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hlm. 414-415
[7]Andri
Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan
Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2010), Hlm. 72-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar